Hari ini aku dapat pelajaran berharga,
Ini pelajaran hidup dari seorang teman yang hampir setiap
bulan dengan berbagai alasan meminjam uang padaku, dari mulai 200 ribu, 700
ribu, sejuta, atau bahkan lebih dari itu. Tadinya aku berpikir sebab dia
meminjam dan aku memberi pinjaman adalah dia sudah memiliki anak, sedangkan aku
belum, atau dia staff 1 dan suaminyapun tak jauh beda dengannya sedangkan aku
specialist job ditambah aku dan suami sama-sama double job. Secara income tentu
jumlah kami lebih besar.
Beberapa bulan yang lalu aku tercengang ketika mendengar
ceritanya yang katanya ambil pinjaman Bank seniali 30 juta untuk membeli mobil
bekas untuk keperluan bepergian dengan keluarganya. Perlahan aku mulai paham,
karena pada saat hamil begini aku juga sering berangan-angan andaikan kita
punya mobil tentu aku bisa istirahat di mobil saat perjalanan pulang mengajar
malam. Tapi membayangkan punya mobil dalam kondisi sekarang dengan tabungan tak
seberapa, sedangkan kami masih kost dan kami sedang
mempersiapkan anak pertama kami, rasanya kok egois sekali hidup kami. Apalagi
suami kerja di Jakarta, membayangkan macetnya saja sudah mumet, belum lagi
perawatan mobil yang tidak mungkin murah. Oke, mungkin bagi temanku ini mobil
sudah menjadi kebutuhan primer yang haram kalau tidak dipenuhi. Tapi pinjam
uang ke Bank hanya untuk beli mobil? Ah sudahlah…
Setelah cerita itu berlalu temanku ini tetap meminjam uang
padaku hampir setiap bulan. Alasannya? Dari mulai pinjam buat adiknya yang
terlilit hutang, Ibu mertua sakit, anak sakit, dan berbagai macam alasan
lainnya dan aku paling tidak sanggup menolak alasan-alasan semacam ini. Tapi
beberapa hari kemudian postingan jalan-jalan, liburan keluar kotanya
bersliweran di medsos dan status whatsApp. Ah sudahlah..
Hari ini aku baru tahu kalau ada program pinjaman Bank yang
diakomodir perusahaan dan ternyata sudah berlangsung selama beberapa minggu.
Meja kerjaku yang hanya berjarak 2 meter dari coordinator pinjaman Bank ini
saja sungguh baru tahu beberapa jam yang lalu ketika tanpa sengaja aku
mendengar percakapan temanku ini yang sedang sibuk mengurus formulir, ini itu
dan sebagainya. Dengan polos aku bertanya, “Kamu minjem Bank lagi?”, “Iya mba”
jawabnya, “Berapa?, Untuk apa?” aku benar-benar penasaran, “buat beli mobil
mba, buat grab”, kamu ambil berapa? “60 mba”, cicilannya berapa? “2 juta
sebulan”. Insting matematikaku seketika bekerja, Gajinya setahuku maksimal 3,8
– 2= 1,8? Selain melanggar aturan tentang besaran pemotongan gaji untuk
pinjaman, rasanya sungguh tidak masuk akal menyisakan gaji 1,8 demi membeli
mobil. Baiklah, ada gaji suaminya yang rasanya bisa ditaksir sekitar 4 atu 4,5,
jadi total pemasukan 6,3, seingatku dia pernah bercerita kalau dia masih
menanggung Ibunya yang tinggal di kontrakan. Sebulannya dia membantu Ibunya
sekitar 600 ribu, untuk mertuanya 1 jt (karena mertuanya yang mengurus anaknya
dan ia tinggal dirumah mertua), untuk kebutuhan susu dan pampers hampir 2 jt,
sisanya 2,7, untuk jatah suaminya 1 jt , untuk kebutuhan lainya apalagi dana
tak terduga? 1,7? Ah Sudahlah…
Menurutnya, dia masih sedikit lebih wajar dibandingkan si
Ayu yang suaminya masih ada tanggungan 30 jt waktu pinjam buat mereka menikah
(sekarang anaknya udah usia 3 tahun), dan tanggunganya sendiri 20 jt, sekarang
sedang mengurus pinjaman lagi 120 jt. What?. Adalagi si Kiky yang baru menikah
beberapa bulan sedang mengurus pinjaman 160 jt. Speechless.
Aku bertanya lugu "kok kalian berani banget ya?"
"Ya kalau ga ngutang sama nyicil ga bakal punya mba"
Aku bersyukur saja, aku belum punya rumah, apalagi mobil,
tabungan pun tak seberapa. Tapi Alhamdulillah, masih bisa membatu saudara dan
teman-teman ketika mereka kesusahan. Meskipun kadang sungguh miris, ketika
saudara meminjam untuk membangun rumah karena takut uang tabungannya terkuras
habis, padahal uang yang kami pinjamkan adalah uang hasil menguras tabungan kami.
Atau ada saja teman yang meminjam uang dengan membeberkan tanggungannya dan
membandingkan dengan kami yang katanya baru menikah, anak belum lahir, suami
kerja di bengkel besar sambil mengajar pula, istri kerja di perusahaan besar
pun sambil mengajar. Mereka tidak tahu, kami pun punya mimpi, kami pun menahan
nafsu kami ingin memiliki ini itu dan lainnya, kami pun masih belum tahu
seberapa besar kebutuhan kami setelah anak kami lahir beberapa bulan kedepan.
Yang pasti kami
berusaha sebaik mungkin agar tidak menyusahkan siapa pun. Kami berusaha
semaksimal mungkin menghindari pinjaman, riba, dan sebagainya. Kami memimpikan
banyak hal, tapi kami tahu kami akan lebih bahagia jika kami bisa tidur nyenyak
tanpa beban tanggungan hutang. Yang pasti, kami masih bisa hidup, bisa makan,
bisa cek kesehatan bayi pertama kami.
Rasanya semenjak menikah, mataku lebih terjaga. Aku tidak
terlalu tertarik dengan fashion, gadget, apalagi make up. Sepertinya terahir
kami berbelanja baju ya lebaran kemarin. Gadget? Kami masih setia pada gadget
kami yang kami beli saat awal masuk S2, 3 tahun lalu ketika gadget sebelumnya
rusak dan tidak mungkin diperbaiki lagi. Make up? Dari jaman aku kuliah, aku
hanya pakai Pond’s pembersih wajah, Pond’s night cream, bedak refill Pixy,
lipstic Sophie Martin, dan parfum refill Lovely yang aku pakai berdua dengan
suamiku. Orang-orang sering meledekku, Dosen kok motornya vixion butut, dosen
kok HP nya murahan, dosen kok ini itu… haha.. aku tetap bahagia… Bos Preskomku
sering tiba-tiba memberiku kejutan cash entah untuk apa saja tanpa aku meminta
dengan syarat tidak boleh ada yang tahu karena dia senang orang berfikir dia
pelit. Kolega-kolega bosku yang sering dikenalkan padaku pun sering memberiku
bingkisan, bahkan beberapa menjanjikanku bonus karena aku sering membantu
peerjaan mereka. Meski gajiku tak besar tapi Alhamdulillah… banyak rejeki yang
aku dapat.. Semoga kami tetap istiqomah untuk tidak tegoda dengan segala bentuk
pinjaman dan riba. Semoga kami bisa melawan paradigma "kalau tidak ngutang dan nyicil ya tidak akan punya" Aammiiinn…