Thursday, January 22, 2015

Sekaleng Sarden

Senja dihari sabtu yang sendu, awan-awan murung yang berarak dalam nuansa kelabu. Lantunan lirih dari mushola memberi sedikit jernih untuk kami yang penuh pamrih.

Tangan kasar itu kini sudah kembali bersih, dari seharian memeras keringat membalut perih. Kebimbangan terterka dari raut wajahnya, seraya ia menimang-nimang dalam genggamanya.

Sekaleng kecil sarden baginya seumpama makanan-makanan resto yang keren. Otaknya berkutat dalam pikiran sederhana soal kapan sekaleng sarden ini akan dihidangkan untuk anak-anaknya. Mungkin nanti sore, tapi apalagi yang akan ia sajikan esok pagi?. Mungkin esok pagi akan lebih baik, anak-anaknya akan makan lahap sebelum mereka berjalan jauh ke sekolah. Ah tidak, besok mereka libur sekolah, belum terlalu penting untuk makan lahap, sebaiknya lusa saja. lalu apa yang kan mereka telan seharian besok? sedangkan hasil menjual keliling barang-barang kelontong hari ini sudah habis untuk membeli sekaleng sarden ini dan sebungkus sabun colek untuk mencuci sebulan, sebungkus kecil odol pun tak sanggup ia beli, sudah seminggu ini odol mereka habis, bungkusnyapun sudah menjadi lempengan yang licin tak berbekas odol.

Suara merdu itu menggema, ia bergegas ke sumur tanpa pagar milik tetangganya. Setelah mengambil air wudhlu dipanggilnya ketiga anak-anaknya yang masih usia sekolah dasar. Ditungguinya mereka ber wudhlu sambil mengingatkan agar wudhlunya sempurna. Tergopoh-gopoh mereka ke mushola berharap masih ada kesempatan ikut berjama'ah. Sang Ibu khusyuk dalam shalatnya, banyak doa yang ia panjatkan untuk anak-anaknya dan untuk suaminya si syurga. Air mukanya tenang, meski air matanya semakin menggenang. Ia bersyukur, berkali-kali ia ucapkan hamdallah karea hari ini ia mampu membelikan ketiga anaknya sekaleng sarden. Sudah seminggu si bungsu merengek-rengek memintanya, karea ia sering mendengan temanya bercerita tentang betapa nikmatnya sarden itu. Ia bersujud lalu duduk tenang mendengar ceramah ba'da magrib.

Sepulang dari mushola si bungsu hanya diam sepanjang jalan. Wajahnya murung. Ia menangis diam-diam. Sang ibu mendengarnya sesenggukan, dipeluknya penuh kasih sayang. Dengan lembut, meski ia takut si bungsu akan meminta yang tak sanggup ia beli, ia tetap bertanya , "kenapa sayang?". Ragu, dan penuh perasaan bersalah si bungsu menjawab "bu.. mukenaku sobek dan kumal, tadi siang praktik shalat disekolahan aku malu bu.. aku tak jadi masuk kelas dan bolos..". Tertegun, tanpa sadar ibu pun mendekapnya semakin erat. "Maafkan ibu nak...maafkan ibu.. maafkan ibu membuatmu malu...". Si sulung mendekat turut memeluk ibunya "Bu.. aku punya tabungan, maaf aku tak pernah bilang kalau aku mengamen setiap pulang sekolah, aku takut ibu marah, aku takut ibu malu.. tapi pakailah tabunganku bu untuk membeli mukena adik".

Kembali tertegun, dalam kekagetanya yang luar biasa, ia merasa semakin tak berdaya. Ia kembali menangis, kali ini lebih terguncang dari sebelumnya "maafkan ibu nak... maafkan ibu...tolong maafkan ibu..." kemuadian mereka berpelukan di jalan setapak yang becek, lagi kumuh dan bau. Semakin erat mereka mencurahkan kasih sayang mereka, tak peduli timbunan sampah di sekelilingnya.

Malam itu Ibu memutuskan untuk memasak sekaleng sarden untuk ketiga anaknya. Ia bahagia melihat anaknya makan dengan lahap. dalam kebahagiaanya, ia melamun, besok bagaimana mereka akan makan? sedangkan ia sudah tak boleh berjualan barang-barang kelontong oleh majikanya, karena jalanya yang sudah mulai lamban. Ia merogoh kantong dasternya yang sudah ia jahit sendiri berkali kali. Ada beberapa lembar uang duaribuan dari si sulung tadi untuk membeli mukena si bungsi. Ah.. haruskah kupakai uang ini untuk membeli seikat kangkung saja besok? Tapi bagaimana praktik shalat si bungsu. Lamunanya buyar tatkala ketiga anaknya tersenyum riang dan si bungsu berkata "bu, seandainya kita bisa makan sarden setiap hari bu...hehehee.. semoga ibu daganganya lancar"

Ibu tersenyum lemah... Ia memutuskan untuk tidur saja malam itu. Agar perutnya yang seharian tak terisi makanan tidak terlalu menuntutnya untuk mengisinya.. Ia tertidur.. dengan mimpinya membeli sekaleng sarden seperti tadi siang....

Lalu dimana kami harus berteduh?
Sedang kalian membangun rumah-rumah mahal menepikan kami yang kumuh
Lalu bagaimana kami mencari nafkah?
Sedang kami selalu dipinggirkan digantikan gedung gedung megah
Lalu apa yang kami makan?
Sedang harganya kian melambung tak terjangkau meski kami bekerja seharian
Lalu bagaimana kami hidup?
Sedang kalian membeli udara yang kami hirup
Negeri ini kau bangun hanya untuk konglomerat-konglomerat
Kami yang melarat kau biarkan sekarat

Bermula dari kisah beberapa hari yang lalu, aku membuang sekaleng besar sarden yang kubeli saat bulan puasa yang lalu. Aku sampai lupa aku masih menyimpanya. Meski tanggal kadaluarsa yang tertera di kalengnya April 2015, kuputuskan untuk ku buang saja karena sepertinya tak mungkin kumakan lagi. Esoknya ketika berangkat kerja tak sengaja aku mendengar percakapan sepasang ibu-anak berpakaian usang yang membicarakan soal keinginan anaknya makan sarden untuk berbuka puasa dihari senin itu, namun sang ibu menjanjikan untuk membelikanya hari sabtu. Sebuah pelajaran berharga, ibu-anak yang berkeinginan sederhana ini menamparku tanpa sengaja. Seringkali aku lalai dalam bersyukur... Astaghfirullah...