Thursday, May 21, 2015

Emansipasi Wanita dan Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana

copas : http://fantasyworldastia.blogspot.com/2012/10/sinopsis-novel-layar-terkembang-karya.html

Tuti dan Maria adalah kakak beradik, anak dari Raden Wiriatmadja mantan Wedana daerah Banten. Sementara itu ibu mereka telah meninggal. Meskipun mereka adik-kakak, mereka memiliki watak yang sangat berbeda. Tuti si sulung adalah seorang gadis yang pendiam, tegap, kukuh pendiriannya, jarang sekali memuji, dan aktif dalam organisasi-organisasi wanita. Sementara Maria adalah gadis yang periang, lincah, dan mudah kagum.
            Diceritakan pada hari Minggu Tuti dan Maria pergi ke akuarium di pasar ikan. Di tempat itu mereka bertemu dengan seorang pemuda yang tinggi badannya dan berkulit bersih, berpakaian putih berdasi kupu-kupu, dan memakai kopiah beledu hitam. Mereka bertemu ketika hendak mengambil sepeda dan meninggalkan pasar, pada saat itu pula mereka berbincang-bincang dan berkenalan. Nama pemuda itu adalah Yusuf, dia adalah seorang mahasiswa sekolah tinggi kedokteran. Sementara Maria adalah murid H.B.S Corpentier Alting Stichting dan Tuti adalah seorang guru di sekolah H.I.S Arjuna di Petojo. Mereka berbincang samapai di depan rumah Tuti dan Maria.
            Yusuf adalah putra dari Demang Munaf di Matapura, Sumatra Selatan. Semenjak pertemuan itu Yusuf selalu terbayang-bayang kedua gadis yang ia temui di akuarium., terutama Maria. Yusuf telah jatuh cinta kepada Maria sejak pertama kali bertemu, bahkan dia berharap untuk bisa bertemu lagi dengannya. Tidak disangka oleh Yusuf, keesokan harinya dia bertemu lagi di depan hotel Des Indes. Semenjak pertemuan  keduanya itu, Yusuf mulai sering menjemput Maria untuk berangkat sekolah serta dia juga sudah mulai berani berkunjung ke rumah Maria. Sementara itu Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak bukan lagi hubungan persahabatan biasa.
            Tuti sendiri terus disibukan oleh kegiatan-kegiatan nya dalam kongres Putri Sedar yang diadakan di Jakarta, dia sempat berpidato yang isinya membicarakan tentang emansipasi wanita. Tuti dikenal sebagai seorang pendekar yang pandai meimilih kata, dapat membuat setiap orang yang mendengarnya tertarik dan terhanyut.
            Sesudah ujian doctoral pertama dan kedua berturut-turut selesai, Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura, Sumatra Selatan. Selama  berlibur Yusuf dan Maria saling mengirim surat, dalam surat tersebut Maria mengatakan kalau dia dan Tuti telah pindah ke Bandung. Kegiatan surat menyurat tersebut membuat Yusuf semakin merindukan Maria. Sehingga pada akhirnya Yusuf memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta dan ke Bandung untuk mengunjungi Maria. Kedatangan Yusuf disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Setelah itu Yusuf mengajak Maria berjalan-jalan ke air terjun Dago, tetapi Tuti tidak dapat meninggalkan kesibukannya. Di tempat itu Yusuf menyatakan perasaan cintanya kepada Maria.
            “Maria, Maria, tahukah engkau saya cinta kepadamu?”
            “Lama benar engkau menyuruh saya menanti katamu…”
            Setelah kejadian itu, kelakuan Maria berubah. Percakapannya selalu tentang Yusuf saja, ingatannya sering tidak menentu, dan sering melamun. Sehingga Rukamah sering mengganggunya. Sementara hari-hari Maria penuh kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih banya membaca buku. Sebenarnya pikiran Tuti terganggu oleh keinginannya untuk merasakan kemesraan cinta. Melihat kemesraan Maria dan Yusuf, Tuti pun ingin mengalaminya. Tetapi Tuti juga memiliki ke khawatiran terhadap hubungan Maria dan Yusuf. Kemudian Tuti menasehati Maria agar jangan sampai diperbudak oleh cinta. Nasihat tulus Tuti justru memicu pertengkaran diantara mereka dan memberikan pukulan keras terhadap Tuti.
            “Engkau rupanya tiada dapat diajak berbicara lagi,”kata Tuti amarah pula, mendengar jawaban adiknya yang tidak mengindahkan nasihatnya, “Sejak engkau cinta kepada Yusuf, rupanya otakmu sudah hilang sama sekali. Engkau tidak dapat menimbang buruk-baiknya lagi. Sudahlah! Apa gunanya memberi nasihat orang serupa ini?”
            “Biarlah saya katamu tidak berotak lagi. Saya cinta kepadanya, ia cinta kepada saya. Saya percaya kepadanya dan saya hendak menyerahkan seluruh nasib saya ditangannya, biarlah bagaimana dibuatnya. Demikian kata hati saya. Saya tidak meminta dan tida perlu nasihatmu. Cinta engkau barangkali cinta perdagangan, baik dan buruk ditimbang sampai semiligram, tidak hendak rugi barang sedikit. Patutlah pertunanganmu dengan Hambali dahulu putus!”
            “Tutup mulutmu yang lancing itu, nanti saya remas.”
            Dari kejadian itu, Tuti sama sekali tidak berbicara dengan Maria, juga dia merasa sendiri dan sepi dalam kehidupannya.
            Ketika Maria mendadak terkena penyakit malaria dan TBC, Tuti pun kembali memperhatikan Maria, Tuti menjaganya dengan sabar. Pada saat itu juga adik Supomo datang atas perintah Supomo untuk meminta jawaban pernyataan cintanya kepada Tuti. Sebenarnya Tuti sudah ingin memiliki seorang kekasih, tetapi Supomo dipandangnya bukan pria idaman yang diinginkan Tuti. Maka dengan segera Tuti menulis surat penolakan.
            Sementara itu, keadaan Maria semakin hari makin bertambah parah. Kemudian ayahnya, Tuti, dan Yusuf memutuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Dokter yang merawatnya menyarankanagar Maria dibawa ke rumah sakit khusus penderita penyakit TBC wanita di Pacet, Sindanglaya Jawa Barat. Perawatan Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan, yang terjadi adalah kondisi Maria semakin lemah.
            Pada suatu kesempatan, Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di Sindanglaya, disitulah Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok tanam, ternyata juga mampu membimbing masyarakat sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan. Tetapi juga di desa atau di masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.
            Semakin hari hubungan Yusuf dan tuti semakin akrab, sementara itu kondisi kesehatan Maria justru semakin mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun sudah tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Pada saat kritis Maria mengatakan sesuatu sebelum ia menginggal.
            “Badan saya tidak kuat lagi, entah apa sebabnya. Tak lama lagi saya hidup di dunia ini. Lain-lain rasanya… alangkah berbahagia saya rasanya di akhirat nanti, kalau saya tahu, kalau kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini. Inilah permintaan saya yang penghabisan dan saya, saya tidak rela selama-lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain.”Demikianlah pesan terakhir almarhum Maria.
            Setelah beberapa lama kemudian, sesuai dengan pesan terakhir Maria, Yusuf dan Tuti menikah dan bahagia selama-lamanya.
TAMAT

Meski belum pernah membaca novelnya, judul novel ini sudah tak asing lagi sejak masih belajar pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar dulu. Layar Terkembang menjadi salah satu novel yang sering dijadikan pembahasan dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Dilihat dari sinopsis diatas, alur cerita Layar Terkembang sebenarnya sederhana. Namun demikian, pelajaran yang dapat diambil sungguh luar biasa. Sosok Tuti yang digambarkan sebagai perempuan berpendidikan tinggi, aktifis di berbagai organisasi, dan sebagai simbol emansipasi wanita pada masa itu di masyarakatnya rupanya menganggap adiknya Maria yang sedang jatuh cinta sebagai perempuan yang kehilangan akal sehatnya. Pandanganya pada apa yang dirasakan Maria ini menyulutkan perpecahan diantara keduanya. Pandangan Tuti soal 'jatuh cinta' mulai berubah ketika adiknya sakit parah dan di akhir hayatnya berpesan agar Tuti hidup berbahagia dengan orang yang Maria cintai. Tuti sadar, sebagai perempuan ia memerlukan pria sebagai teman hidupnya, sebagai imam dan pengayomnya. Setinggi apapun pendidikan perempuan, ia harus ingat bahwa kehidupan baru lahir dari rahimnya yang berarti tanggung jawabnyalah merawat, mengasuh, serta mendidik manusia-manusia baru di bumi ini. Berpendidikan tinggi adalah anugrah, membimbing anak-anak menjadi orang-orang besar yang soleh adalah anugrah yang lebih besar.


Wednesday, May 20, 2015

Pelangi Retak

Langitpun tak selalu cerah
Ada kalanya manusia merindukan hujan yang basah
Hujanpun tak selamanya membuat gelisah
Satu waktu ia merengkuh kembali hati - hati yang patah



Dalam hidup selalu ada yang datang dan pergi. Ada yang singgah sebentar, ada pula yang segera pergi setelah sekian lama menyimpan duri, beberapa diantaranya tetap bertahan. Aku tak mengharapkan hubungan pertemanan yang sempurna, bahkan aku, rena, lilis dan ncus yang sudah bersama-sama sejak balita pun masih saja belum sepenuhnya klop. Ditambah jarak dan kesibukan yang membuat komunikasi kami kian menjarang.

Tapi hidup selalu penuh dengan pelajaran. Satu pelajaran yang membuatku kesulitan bukan kepalang adalah pelajaran tentang introspeksi diri. Masalah bertubi-tubi nyatanya hanya membuatku mahir mengeluh, bukan berbenah diri. Tapi ada yang lebih sulit dari pelajaran ini, yaitu soal ikhlas. Beberapa menit yang lalu aku memutuskan akan mengikhlaskan ujian-ujian itu datang, tapi beberapa menit kemudian bermacam macam argumentasi yang bercokol di benaku mulai menggoyahkan keikhlasanku yang tadi. Dan begitu seterusnya.


Aku menyayangkan kehadiranmu dalam dunia teman bertemanku akan hanya sebentar saja. Aku kira aku sudah tahu hitam putihmu begitupun sebaliknya, ternyata tidak. Aku begitu hitam dimatamu. Tapi sudahlah, apa gunanya menerangi gedung gelap dengan sebatang lilin. Berbahagialah saja dengan duniamu, meski yang kau ingat hanya selalu keburukanku, dan keburukan-keburukan teman-teman yang kau jauhi sebelum aku. Karena akupun berbahagia dengan duniaku, tanpa lupa untuk mengenang kebaikanmu. Aku bahkan sudah kebal dengan kata-kata busukmu. Karena aku bersama orang-orang yang mengingatkanku untuk dekat dengan-Nya. Karena pada akhirnya semuanya kuserahkan pada-Nya. Termasuk hatimu. Berbahagialah, dan mendekatlah kepada-Nya, semoga ada sinar yang mampu menerangi hatimu segera, lusa atau kelak dimasa mendatang. Semoga kita sama-sama dijauhkan dari sifat Ananiah, Ghadab, Hasad, Ghibah dan Namimah.



Monday, May 11, 2015

Grindelwald and Dumbledore

Grindelwald and Dumbledore
the nephew of Bathilda Bagshot, the writer of A History of Magic and the oldest son of Kendra Dumbledore



Gallert was the most powerful and dangerous wizard before the Dark Lord existence. He used to befriend with Albus Percival Wulfric Brian Dumbledore in his teenage. Their relationship was built ever since an unintended meeting in his aunty’s house, Bathilda Bagshot. Both young Albus and young Gallert were in equal intelligent quality. They shared many ideas and knowledge. Gallert found that Albus is a brilliant wizard. Gallert enjoyed discussing many great things with Albus. Nonetheless, there was always a difference between two men who have their head apart. Gallert believed that pure blood is the first in wizard world, and wizard is the first in the world. This idea was not approved by Albus. Regardless of his awful past about an incident with muggles, Albus saw that all people should be treated equally. However, Albus still believed that Gallert could be argued.

Albus wondered how his friend became dangerously interested in collecting and mastering the Deathly Hallows. His ambition of possessing three master of death was not in Albus’s right opinion. Albus refused his idea to go wandering with him to find Hallows as a companion. Albus was confronted by his younger brother, Albeforth. An accident happened, and nobody knew who casted the curse that kills Ariana, Albus’s younger sister.

The time flies. Albus has been trying to forget his past ever since he decided to come back to Hogwarts as a teacher. He enjoyed himself training young wizards and gaining so many achievements greatly. On the other hand, Gallert built his power to fulfill his ambition to reign the world. He became the most powerful and dangerous wizard in that time.

Albus, was known to be a friend of Gallert forced to face him. They both dueled although Albus didn’t want to confront him because Albus was worried that Gallert would reveal whose curse killed Arriana in that day. Albus won, Gallert was taken to the prison.

Albus then possessed The Elder Wand, one of the Hallows. He never used that wand in an ambition of power. He kept training young wizards, till one day he met a boy, a special boy with some special talents, a boy who would be the most dangerous wizard after his best friend, Tom Riddle. He knew something dreadful inside that boy, but he kept teaching him many good things. He kept his eyes on him for over 7 years until his graduation.

Years after his arrival in the school, he became as notorious as Gallert was. He became even more powerful than Gallert, therefore Albus could not just confront him straightly. He had to make a plan, a dangerous brilliant plan. But again, confidence of intelligence licked him to put other people in his brilliant plan. His plan of setting a Boy Who Lived to face The Dark Lord voluntarily has taken almost 18 years, and dozen innocent people have died.

Intelligence is oftentimes dangerous without a good heart to control.
I keep blaming myself for letting him walking through that lonely path. I feel like I can’t forgive myself for what he has done. I don’t even think to mark him as my “past”. We have been together for many years, but I still have no idea how to connect with him. I can’t find the best way to communicate with him. I’ve learned many things from him, though I can’t even remember what I have given to him, probably nothing, I still believe he is a best partner of mine. I need to talk to him, not for any kind of apology, nor acceptance, but his heart. I never want to put him in any statement of rivalry, he is better than me in some ways. I don’t have ability to walk lonely through that path, but he does. I can’t say anything to comfort him anytime he need, but he can. I can’t take too much hatred to that people we’ve been discussing for years, but he can. He is always better than me.

My regret is growing worse, regret of allowing him living with those thoughts, of not trying enough to remind him to be faithful in the right way. I was on my edge whenever we had conversation about people and life. I was worried to be the one who will be responsible of his bad temper. I tried to remind him to live socially, may be it wasn’t enough for he kept adoring his brilliant intelligence. I believe that I did believe that his ideas about intelligence amazed me.
He was a spectacular man, and I was no one. I was jealous of his knowledge and his ideas. It motivated me to study harder, harder than ever. I was lucky probably. I don’t know his thoughts of me become that bad.. but I do care about him. I do want him to live his life socially, and peacefully. I do need to talk to him that we have to accept other persons to come into our life. We don’t need to change ourselves into somebody else, we just need to accept them, and be fair for there is always a chance for us to be “the wrong”, because we are human beings whom God placed for some reasons. We can’t always be “the right”, even we have to believe and learn that in a war we must consider that our enemy is not always “wrong” and we are not always “right”.

It doesn’t matter what you did in the past, it matters what you choose now, be that brilliant spectacular Grindelwald, or that old wise Dumbledore.


Godric Hollow, May 2015
Sincerely
Nagini