Saturday, January 31, 2015

Hellboy



To : Orcs

“What makes a man a man? Is it his origins? The way he comes to life? I don't think so. It's the choices he makes. Not how he starts things, but how he decides to end them.”



(agent John Myers in Hellboy movie)



I’ve done an analysis of this movie by using Post-Structuralism perspective. The standard concept of social life may disapprove with this fiction story. The main character (hero) of this movie is a devil, you will agree with this if you focus on his (I will start calling this creature “his”) physical appearance. Covered by red skin, we will automatically judge him as a “devil”. It is compounded by a couple of horns on his forehead that will make you agree if I categorize him into a kind of monster. His appearance is worsened by the fact that his eyes are yellow and he has a tail. Now, let me talk about his attitude. In this movie, he is portrayed as a hero, an infant boy born in hell, but nurtured by a human, Prof. Broom (if I’m not mistaken). He is growing to be an adult, but still people call him Hell-Boy. Set to be a hero, he often seems to come and rescue people with his power and ability destroying monster. Ah, I forget to mention this part, one of his arms is a stone-made function to open a portal to connect this earth to other dimension inhabited by monsters.



Is he a man then? Let me discuss his attitude. Nurtured by a kind man, he becomes more likely a human. He treats Prof. Broom respectfully, even though he has an appetite for doing some child-like deeds. He has a fonder heart about a girl. He is able to turn his face jealously when his girl enjoying her time with other man.

Is he a man then? He chooses not to open the portal though forced by Rasputin by torturing his lover. He decides to save the earth and his lover. He is so humane.



I’m not going to compare this Hellboy to a man. I’m trying to share my experience during my existence in this mental world, I mean this real world. The most recent experience, been shouted by an old-man, not because of my wrongdoing, but his bad temper. I don’t want to put my finger of blame on him. Some people often prefer shouting to speaking though my body is not far enough to make him shouting. I am not angry at all about his bad temper. But I have an objection with his mental quality. He shouted at me about having too many jobs to be handled. Yes, I see, and listen, you are always telling me about this, and you are always shouting at me again.  Does he have a brain inside his head? Perhaps he is too busy to think about others' heart. May be he is too dumb to hear my explanation. Only a couple of sentences may be enough to prevent him from losing his energy to shout. Oh man, your age is more than double of mine. Do I have to teach you about moral? How to treat other? How to avoid your habitual deed of embarrassing others? I am not a perfect one to teach this, but I am more humane than you I guess.



Is he a monster than? He is always shouting at others with irritating words and he is always begging others' for help. His feeling of superiority destroys his humanity. Oh man… I feel sorry about it.



Nevertheless, I’m going to thank him for these happy memories. He makes me realize that possibly I have a chance to be a monster because of my confidence of being right sometimes. He reminds me to always consider others’ feelings. He makes me understand how important giving others a chance to explain is.



What makes a monster a monster? Is it his origins? The way he comes to life? I don't think so. It's the choices he makes. Not how he starts things, but how he decides to end them.

Sincerely
Me - a human being


Thursday, January 22, 2015

Sekaleng Sarden

Senja dihari sabtu yang sendu, awan-awan murung yang berarak dalam nuansa kelabu. Lantunan lirih dari mushola memberi sedikit jernih untuk kami yang penuh pamrih.

Tangan kasar itu kini sudah kembali bersih, dari seharian memeras keringat membalut perih. Kebimbangan terterka dari raut wajahnya, seraya ia menimang-nimang dalam genggamanya.

Sekaleng kecil sarden baginya seumpama makanan-makanan resto yang keren. Otaknya berkutat dalam pikiran sederhana soal kapan sekaleng sarden ini akan dihidangkan untuk anak-anaknya. Mungkin nanti sore, tapi apalagi yang akan ia sajikan esok pagi?. Mungkin esok pagi akan lebih baik, anak-anaknya akan makan lahap sebelum mereka berjalan jauh ke sekolah. Ah tidak, besok mereka libur sekolah, belum terlalu penting untuk makan lahap, sebaiknya lusa saja. lalu apa yang kan mereka telan seharian besok? sedangkan hasil menjual keliling barang-barang kelontong hari ini sudah habis untuk membeli sekaleng sarden ini dan sebungkus sabun colek untuk mencuci sebulan, sebungkus kecil odol pun tak sanggup ia beli, sudah seminggu ini odol mereka habis, bungkusnyapun sudah menjadi lempengan yang licin tak berbekas odol.

Suara merdu itu menggema, ia bergegas ke sumur tanpa pagar milik tetangganya. Setelah mengambil air wudhlu dipanggilnya ketiga anak-anaknya yang masih usia sekolah dasar. Ditungguinya mereka ber wudhlu sambil mengingatkan agar wudhlunya sempurna. Tergopoh-gopoh mereka ke mushola berharap masih ada kesempatan ikut berjama'ah. Sang Ibu khusyuk dalam shalatnya, banyak doa yang ia panjatkan untuk anak-anaknya dan untuk suaminya si syurga. Air mukanya tenang, meski air matanya semakin menggenang. Ia bersyukur, berkali-kali ia ucapkan hamdallah karea hari ini ia mampu membelikan ketiga anaknya sekaleng sarden. Sudah seminggu si bungsu merengek-rengek memintanya, karea ia sering mendengan temanya bercerita tentang betapa nikmatnya sarden itu. Ia bersujud lalu duduk tenang mendengar ceramah ba'da magrib.

Sepulang dari mushola si bungsu hanya diam sepanjang jalan. Wajahnya murung. Ia menangis diam-diam. Sang ibu mendengarnya sesenggukan, dipeluknya penuh kasih sayang. Dengan lembut, meski ia takut si bungsu akan meminta yang tak sanggup ia beli, ia tetap bertanya , "kenapa sayang?". Ragu, dan penuh perasaan bersalah si bungsu menjawab "bu.. mukenaku sobek dan kumal, tadi siang praktik shalat disekolahan aku malu bu.. aku tak jadi masuk kelas dan bolos..". Tertegun, tanpa sadar ibu pun mendekapnya semakin erat. "Maafkan ibu nak...maafkan ibu.. maafkan ibu membuatmu malu...". Si sulung mendekat turut memeluk ibunya "Bu.. aku punya tabungan, maaf aku tak pernah bilang kalau aku mengamen setiap pulang sekolah, aku takut ibu marah, aku takut ibu malu.. tapi pakailah tabunganku bu untuk membeli mukena adik".

Kembali tertegun, dalam kekagetanya yang luar biasa, ia merasa semakin tak berdaya. Ia kembali menangis, kali ini lebih terguncang dari sebelumnya "maafkan ibu nak... maafkan ibu...tolong maafkan ibu..." kemuadian mereka berpelukan di jalan setapak yang becek, lagi kumuh dan bau. Semakin erat mereka mencurahkan kasih sayang mereka, tak peduli timbunan sampah di sekelilingnya.

Malam itu Ibu memutuskan untuk memasak sekaleng sarden untuk ketiga anaknya. Ia bahagia melihat anaknya makan dengan lahap. dalam kebahagiaanya, ia melamun, besok bagaimana mereka akan makan? sedangkan ia sudah tak boleh berjualan barang-barang kelontong oleh majikanya, karena jalanya yang sudah mulai lamban. Ia merogoh kantong dasternya yang sudah ia jahit sendiri berkali kali. Ada beberapa lembar uang duaribuan dari si sulung tadi untuk membeli mukena si bungsi. Ah.. haruskah kupakai uang ini untuk membeli seikat kangkung saja besok? Tapi bagaimana praktik shalat si bungsu. Lamunanya buyar tatkala ketiga anaknya tersenyum riang dan si bungsu berkata "bu, seandainya kita bisa makan sarden setiap hari bu...hehehee.. semoga ibu daganganya lancar"

Ibu tersenyum lemah... Ia memutuskan untuk tidur saja malam itu. Agar perutnya yang seharian tak terisi makanan tidak terlalu menuntutnya untuk mengisinya.. Ia tertidur.. dengan mimpinya membeli sekaleng sarden seperti tadi siang....

Lalu dimana kami harus berteduh?
Sedang kalian membangun rumah-rumah mahal menepikan kami yang kumuh
Lalu bagaimana kami mencari nafkah?
Sedang kami selalu dipinggirkan digantikan gedung gedung megah
Lalu apa yang kami makan?
Sedang harganya kian melambung tak terjangkau meski kami bekerja seharian
Lalu bagaimana kami hidup?
Sedang kalian membeli udara yang kami hirup
Negeri ini kau bangun hanya untuk konglomerat-konglomerat
Kami yang melarat kau biarkan sekarat

Bermula dari kisah beberapa hari yang lalu, aku membuang sekaleng besar sarden yang kubeli saat bulan puasa yang lalu. Aku sampai lupa aku masih menyimpanya. Meski tanggal kadaluarsa yang tertera di kalengnya April 2015, kuputuskan untuk ku buang saja karena sepertinya tak mungkin kumakan lagi. Esoknya ketika berangkat kerja tak sengaja aku mendengar percakapan sepasang ibu-anak berpakaian usang yang membicarakan soal keinginan anaknya makan sarden untuk berbuka puasa dihari senin itu, namun sang ibu menjanjikan untuk membelikanya hari sabtu. Sebuah pelajaran berharga, ibu-anak yang berkeinginan sederhana ini menamparku tanpa sengaja. Seringkali aku lalai dalam bersyukur... Astaghfirullah...